Pertemuan di Hari Minggu

ARI, beghitulah orang memanggilnya, Ari adalah anak pertama dari dua bersaudara, umurnya masih muda dan ia masih duduk di bangku SMP sedangkan adiknya, Adi masih duduk di bangku sekolah dasar.
Di desanya Ari dikenal sebagai anak pendiam, santun dan pintar sehinnga teman-teman sekolahnya sangat suka berteman dengan Ari.

Di sebuah pagi yang cerah sinar matahari masih belum begitu sempurna, sehingga masih terlihat menguning di ufuk timur. Namun di Desa Sumber Sari, matahari seakan telah menyempurnakan sinarnya dan terlihat begitu ceria dengan sinarnya. Jam dinding menunjukkan pukul 07:00, waktunya Ari dan adiknya berangkat sekolah, Ari bergegas menyiapkan alat tulisnya, mulai dari pensil sampai sampai buku-buku pelajaran tak lupa ia persiapkan, sesekali ia diam tertegun mengingat-ingat apakah masih ada alat sekolah yang ketinggalan. Merasa sudah lengkap Ari dan adiknya Adi cepat-cepat menggendong tasnya dan berpamitan kepada kedua orang tuanya;
“Bu, Ari berangkat sekolah” pamit Ari sambil mencium tangan Ibunya, begitu pula kepada bapaknya. Adiknya juga tak mau kalah sopan dari Ari, Adi juga berpamitan dan mencium tangan kedua orang tuanya. Kemudian keduanya berangkat bersama karna memang sekolah meraka berdua tidak terlau berjauhan.
Di rumah, orang tua Ari sedang sibuk menyiapkan bekal untuk dibawa ke sawah, maklum, tanah mereka cukup lebar, jadi mereka harus lebih lama di sawahnya agar garapannya cepat selesai, sehingga harus membawa bekal agar kalau nanti mereka lapar tidak bolak-bolik pulang.

Tet, tet, tet…. Bel sekolah sudah berbunyi dengan kerasnya sehingga suaranya dapat memenuhi setiap halaman sekolah Ari.
Semua siswa belarian untuk masuk sekolah termasik Ari. Kali ini Ari belajar pelajaran Bahasa Indonesia, serius sekali ia menyimak pelajaran ini, bolpoin sudah terjepit di jari-jemarinya denga buku tulis putih sebagai alasnya. Ia menulis semua keterangan dari gurunya. Tak berapalama buku Ari penuh dengan coretan pelajara. Begitulah Ari, ia sangat rajin di sekolah sehingga ia sering mendapatkan peringkat.

Jam dinding kelas sudah menunjukkan jam 12:30, bel sekolah pun juga sudah terdengar berbunyi, Ari berkemas-kemas untuk segera pulang. Dari sekolahnya, Ari pulang bersama teman-temannya, tapi kemudian mereka berpisah karna rumah mereka dengan rumah Ari berjauhan. Ari berjalan sendirian di bawah terik matahari yang membentang. Kalau waktu pulang sekolah Ari memang tidak pulang bersama adiknya, karna jam pulang di sekolah Adi lebih awal dari sekolah Ari, jadi Adi harus pulang sendirian tanpa menunggu kakaknya.
Ari berjalan menyusuri pepohonan, jalan kecil menjadi alternatif utama baginya, sehingga sinar matahari tak begitu ganas memanggang kulitnya.
Tak lama kemudian Ari pun sampai di rumahnya Seperti biasa, sebelum masuk rumah, Ari mengucapkan salam terlebih dahulu;
“Assalamu ‘alaikum” salam Ari.
“Wa ‘alaikum salam” terdengar dari dalam, Adi menjawab salam Ari.
“udah pulang kak?” tanya Adi.
“iya, bapak sama ibu belum pulang Di?” Ari balik bertanya.
“belum” jawab Adi datar.

Setelah istirahat scukupnya Ari bergegas mandi untuk sholat Dzuhur. Di luar, matahari terus membentangkan sinar panasnya, memang siang itu panas matahari sangat menyengat kulit dan menyilaukan pandangan. Tampak dari kejauhan sayup-sayup bayangan orang tua Ari, mereka sudah pulang dari sawah dengan membawa peralatan yang digunakan untuk menggarap sawahnya. Tak lama kemudian mereka sampai di rumah. Mereka tampak kelelahan dan terus istirahatmelepas kelelahannya yang sedari tadi mereka tanggung sawah.
Merasa telah cukup mereka istirahat, kemudian mereka cepat-cepat mandi kemudian sholat dzuhur bersama.

********


Pada suatu sore, langit di desa Sumber Sari terlihat suram, sinar mataharipun tak begitu terang tertutup oleh awan tebal di langit.
Bapak Ari berpamitan untuk pergi ke desa sebelah;
“Bu, saya pergi dulu”pamit pak Ari.
“mau kemana pak” tanya Bu Ari.
“saya mau ke desa sebelah kerumah teman” jawab Pak Ari.
“iya Pak, tapi pulangnya jangan malam-malam lho” pinta Bu Ari.
“iya, iya Bu, ya udah saya berangkat dulu, Assalamu ‘alaikum” samabil berjalan Pak Ari mengucapkan salamnya.
“wa ‘alaikum salam” Bu Ari tidak lupa menjawab salam Pak Ari.
Bu Ari masih berdiri di beranda rumahnya, terlihat di kejauhan sosok Pak Ari mulai menghilang, kemudian Bu Ari pun masuk rumah.

Sore itu juga Bu Ari hendak pergi kerumah salah satu teman arisannya di desa sebelah. Sebelum berangkat Bu Ari pun berpamitan kepada Ari;
“Ari, ibu pergi dulu ya” pamit Bu Ari.
“mau kemana Bu” tanya Ari.
“Ibu mau kerumah Bu Rina di desa sebelah” jawab Bu Ari.
“iya Bu,” ujar Ari.
“tapi jangan lama-lama ya Bu” Adi ikut bicara.
“Iya, hati-hati kalian dirumah ya” ujar Bu Ari
“asslamu ‘alaikum” Bu Ari mengucapkan salam.
“wa ‘alaikum salam” jawab Ari dan Adi serentak.
Bu Ari kemudian pergi menyusuri jalan setapak berbatu, alas kaki dari karet menjadi pahlawan untuk melindungi kakinya, Bu Ari terus menyusuri jalan setapak itu, berjalan di bawah rerindangan pohon hingga sampai di suatu tempat, sejenak ia menghentikan langkahnya, dari kejauhan matanya tertuju pada sosok seseorang, tak begitu jelas karna tertutup pepohonan. Bu Ari sedikit mendekat, hatinya penasaran, baju yang dikenakan orang itu pernah dikenalnya. Hatinya semakin kacau, sedikit ia dekatkan lagi pandangannya. Hah!!!!!! Kata-kata itu spontan terlontar dari mulutnya, ia terperanjat kaget, Bu Ari tak percaya pada pandangannya, seakan ia tak percaya pada matanya yang masih sehat. Hatinya berantakan bak disambar halilintar. Bu Ari sekarang yakin ternyata orang itu suaminya yang tadi berpamitan untuk ke desa sebelah, kini sedang berduaan dan bercumbu begitu mesra dengan seorang perempuan yang belum Bu Ari kenal.

Bu Ari masih di situ, badannya bergetar, ia hendak mengucapkan sesuatu tapi ia tak kuasa. Kepedihan itu ia pendam dalam-dalam, luapan hatinya taidak ia keluarkan di tempat itu. Ia hanya bisa menangis tersedu-sedu air matanya mengucur deras membasahi pipinya, matanya memerah menandakan ada sebuah kemarahan yang tak terbendung.
Tak kuasa menahan semuanya, ia memutuskan untuk kembali pulang, tidak meneruskan perjalanannya ke desa sebelah. Langkah kakinya begitu cepat sehingga dalam waktu kurang tiga menit Bu Ari sudah sampai rumah. Tanpa salam ia langsung masuk ke kamarnya dan menangis sejadi-jadinya, barang-barang di sekitarnya menjadi korban kemarahannya.
Ari dan Adi dibuat kaget dengan kelakuan ibunya, spontan mereka langsung menggedor-gedor pintu kamar ibunya; “Ibu, ibu…. Ibu kenapa bu….” Teriak mereka berdua. Merasa tidak ada jawaban dari dalam, mereka kembali menggedor pintu kamar itu; “Dor! Dor! Dor!, bu bukain pintunhya, bukain bu” rintih keduanya.
Mendengar teriakan mereka Bu Ari sedikit menghentikan tangisnya, Ia mencoba menenangkan diri, perlahan ia usap air matanya. Hingga kemudia ia membuka pintu kamarnya. Ari dan Adi langsung memeluk ibunya. “Ibu kenapa????” tanya Adi. “nggak… ibu ga’ kenapa-napa” dalih sang ibu. “kok ibu nangis… bilang bu ada apa???” anak itu kembali bertanya dengan nada merintih. “nggak kok bener ibu gak kenapa-napa kalian tenang saja ya…” Bu Ari kembali berdalih, karna takut Ari dan Adi mengetahui apa yang sedang terjadi.

*******

Matahari mulai menenggelamkan wajahnya di ufuk barat, sinarnya memerah pertanda malam akan segera tiba. Pak Ari pulang, ia tampak tenang seakan tak ada yang mengetahui keadaannya tadi. “assalamu ‘alaikum” Pak Ari mengucapkan salam. “wa ‘alaikum salam” terdengar suara Ari dan Adi membalas salam bapaknya.
“udah pulang pak?” tanya Ari
“iya.” Jawab Pak Ari datar. Pak Ari langsung masuk kerumahnya tanpa ada yang perasaan was-was. “lagi ngapain bu?” sapa Pak Ari pada Bu Ari.
“ini lagi bersih-bersih” jawab Bu Ari.
Malam telah datang dengan selimut hitamnya, lampu-lampu di desa Sumber Sari nampak antusias menerangi jalan-jalan de desa itu. Tak terasa waktu magrib telah lewat, kini adzan isyak tengah berkumandang. Keluarga Pak Ari sholat berjamah bersama-sama.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 09:00, Bu Ari segera menyuruh anaknya untuk segera tidur; “Ri, sana tidur, biar besok cepat bangun, adiknya diajak” suruh sang ibu. “iya bu” Ari menuruti perintah ibunya, ia segera masuk kekamarnya. Sekarang di ruang depan hanya tinggal Bu Ari dan Pak Ari. “Pak…” Bu Ari mengawali pembicaraan. “iya bu ada apa?” tanya Pak Ari. “tadi waktu aku mau kerumah Bu Rani, aku melihat bapak sedang berduaan dengan seorang perempuan, tampaknya bapak mesra sekali sama dia” Bu Ari mulai mengintrogasi.
Spontan! Wajah Pak Ari berubah menjadi merah, jantungnya berdetak kencang, ternyata perbuatannya yang ia tutupi selama ini telah diketahui istrinya. Pak Ari diam seribu kata. “kenapa sih pak, kamu kok tega melakukan semua ini? Apa kurangnya aku?” Bu Ari angkat bicara lagi dengan air mata yang tak terbendung. Kata-kata itu memang membuat Pak Ari mati kutu. “bu…” baru saja Pak Ari angkat bicara, Bu Ari memotong pembicaraannya. “kenapa kamu kok menceraikan aku dulu….” Isak tangisnya sudah tak terbendung, Ia lalu menangis sejadi-jadinya. Pak Ari semakin diam di buatnya.

********

Malam telah berdiri tegak, jam menunjukkan pukul 12:00 malam. Bu Ari keluar dari kamarnya, terlihat Pak Ari sedang tidur. Kemudian Bu Ari keluar dengan membawa tas, ternyata selama di dalam kamar, Bu Ari berkemas-kemas, ia tak kuasa menahan nasalah yang menimpa dirinya, ia akan pergi dari rumah, meskipun dengan berat hati harus berpisah dengan anaknya. Ia sudah berada di depan rumah ia tidak tahu akan pergi kemana. Bu Ari mulai melangkahkan kakinya dan pergi jauh entah kemana.
Keesokan harinya, waktu Ari dan Adi bangun, mereka sudah tidak menemukan ibunya. Mereka menangis tersedu, Pak Ari telihat cemas melihat anaknya menangis ia sangat bingung kemana Bu Ari pergi. “pak… ibu kemana?” tanya Adi. “tenang nak, ibu pasti kembali” jawab Pak Ari. “iya tapi kapan… ibu pergi kemana?” tanya Adi lagi.
Sudah beberapa hari Ari dan Adi tidak bertemu ibunya mereka menjadi semakin sedih. Begitu juga dengan Pak Ari, dalam hatinya tumbuh benih-benih penyesalan. Suatu hari ketika mereka sedang berkumpul, Pak Ari minta maaf kepada anaknya, ia bilang kepergian ibunya disebabkan oleh bapaknya. Mendengarkan perkataan bapaknya mereka sangat marah. Setelah bapaknya jujur kepada mereka, mereka tidak menyapa bapaknya hampir dua hari.
Setiap pulang sekolah Ari dan Adi tidak langsung pulang kerumah, mereka masih keliling desa untuk mencari ibunya. Kadang sampai larut sore mereka baru pulang.

********

Tak terasa kepergian Bu Ari sudah memakan waktu satu bulan. Ari, Adi dan Bapaknya dibuat cemas. Siang itu tepatnya hari minggu, Ari dan Adi libur sekolah. Siang itu mereka memutuskan untuk pergi ke kota untuk mencari ibunya, rasanya mereka tidak kuat menahan rasa rindu yang melumuri hatinya. Begitu juga dengan Bu Ari, hampir setiap malam ia menangis hanya karna rindu kepada anak-anaknya.
Mereka berdua pergi tanpa sepengetahuan Pak Ari, karna saat itu Pak Ari sedang kesawah. Mereka berjalan menyusuri jalan desa Sumber Sari, hingga sampailah mereka keperkotaan, di situ mereka berjalan pelan, siapa tau mereka dapat melihat ibunya di situ, atau ibunya bisa melihat mereka. Mereka terus melangkahkan kakinya hingga masuk ke gang kecil di perkotaan itu. Samar-samar mereka melihat seseorang yang postur tubuhnya mirip sama ibunya. “kak! Kayaknya itu ibu” ujar Adi. “iya, ayo kita tengok sampai dekat” ajak Ari pada adiknya. “ayo kak” ujar Adi.

Mereka terus mendekat hingga mereka tepat berada di belakang orang itu dengan jarak kurang lebih lima meter. Setelah mendekat mereka yakin bahwa orang itu ibunya. Kemudian Adi memanggil orang itu dengan sapaan Ibu. “Bu” panggil Adi. Orang itu menoleh ke arah Adi. Ternyata benar orang itu adalah Bu Ari, Ibu mereka yang telah lama pergi meninggalkan mereka dalam kerinduan. Spontan mereka memeluk ibunya dengan sangat haru, isak tangis yang memilukan menghiasi suasana saat itu. “Bu, kenapa Ibu perg meninggalkan kami Bu” tanya Ari. “maafkan ibu nak, maafkan ibu…” dengan penuh haru sang ibu minta maaf pada mereka. “ayo bu kita pulang, bapak sudah menyesali perbuatannya” dengan tangisan Adi mengajak ibunya untuk kembali pulang ke desanya. Selama meninggalkan rumah Bu Ari tinggal bersama neneknya di kota. Tak tega dengan permohonan anaknya, sang ibu menuruti permohonan anaknya. Mereka pulag bersama-sama ke desa Sumber Sari. Pak Ari pun menyambut kedatangan mereka dengan sepenuhnya. Pak Ari meminta maaf pada Bu Ari, mereka pun hidup bersama lagi seperti dulu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Sholehuddin Blog's